PERTANYAAN JULI


Tepat, satu putaran waktu dalam tahun terakhir ini, kedua remaja itu saling tak lagi merasa layaknya kekasih. Bahkan entah mulai kapan. Diam, tak berarah, berdepat beradu keras kepala. Tiba dalam waktunya, kala itu di awal pertemuan yang terencana.

Mereka duduk berhadapan. Pertemuan pertama setelah bulan Juli berlalu. Denting jam terdengar nyaring. Bahkan desiran angin dapat didengar dengan jelas. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Merasa asing, mengapa hal itu harus terjadi?

Sampai menit-menit berlalu mereka masih sama tetap tak bergeming. Menelusuri ingatan yang entah sebab apa hal memilukan pada bulan Juli. Bulan yang di mana mereka harus menjadi orang asing.

Menyayangkan waktu yang pernah mereka lewati. Pernah meramu angan menjadi satu. Kini, harus kandas di bulan Juli. Ah! Bukankah mereka masih remaja. Itu berarti kebersamaan mereka masih awam bukan? Benar tak masalah. Di masa remaja segala hal bisa terjadi. Dari yang membuat sudut-sudut bibirmu tertarik membentuk garis simetris yang menawan. Sampai yang membuat matamu perih dan memerah.

Namun, saat ini yang terjadi pada mereka adalah hal yang membuat mata perih dan memerah. Letupan emosi yang tak lagi dapat diredam bahkan dengan kesabaran. Bukankah seharusnya mereka bersyukur. Karena siapa tahu apa yang terjadi di bulan Juli merupakan yang terbaik.

Dahulu sebelum bulan Juli datang, Si Laki-laki sudah merasa ragu. Bahkan sudah berulang kali dia merenunginya. Hasilnya keraguan semakin menggebu. Entah apa yang membuat Si Laki-laki begitu. Garis simetris yang selalu terukir saat mereka beradu pandang, lambat laum tergantikan dengan iris hitam yang menatap dengan datar.

Tentu saja Si Perempuan merasa asing diperlakukan seperti itu. Dia protes. Agar Lelakinya seperti saat awal mereka bersama. Dia sampai berjanji untuk tidak menuntut dan kekanak-kanakan. Iya. Si Laki-laki berusaha seperti dulu lagi mendengar janji Perempuannya.

Awalnya, semua kembali seperti saat awal mereka bersama. Sayang, Perempuan itu tidak bisa menepati janjinya lebih lama. Dia kembali. Seperti dulu. Banyak menuntut dan kekenak-kanakan. Si Lelaki sudah terlalu muak dengan semua kelakuan Perempuan itu. Bahkan keraguannya tak terbendung lagi.

Berangsur mengubah rasa yang bersamayam indah di lubuk hatinya menjadi biasa. Entahlah. Kenapa secepat itu rasanya berubah terhadap Si Perempuan. Padahal dulu, ia memujanya. Apakah perasaan seseorang memang segampang itu berganti dan beralih? Jawabanya adalah iya. Setidaknya itulah yang dirasakan Si Lelaki.

Hingga akhirnya bulan Juli datang. Di kelas yang sepi. Mereka bertemu. Saling diam. Terlalu sulit memulai percakapan. Atau, terlalu canggung dengan keadaan yang berubah menjadi kaku. Tak sehangat dulu. Mereka harus berbincang menuntaskan keraguan yang memuncak. Mencoba mencari jalan tengah agar sama baiknya bagi mereka.

“Ehem” Si Lelaki memecah keheningan diantara mereka, “sebaiknya kita sendiri-sendiri” lanjutnya. “Apa¬¬─ sudah tidak ada kesempatan untukku?” Si Perempuan menunduk, terlalu takut untuk menatap Lelakinya itu. “Aku rasa sudah memberimu kesempatan.” Dengan datar Si Lelaki menatap Perempuannya yang masih menunduk. Tidak ada lagi sirat kekaguman di matanya. Lenyap. “Baiklah, aku minta maaf.” Akhirnya Si Perempuan pun tak bisa berbuat apa-apa. Dia sadar, dia bersalah. “Hm” jawaban singkat Lelakinya mengakhiri pertemuan mereka saat itu.

Rasanya terlalu ironis, bila mengingat bulan Juli yang merengut semua angan dan tawa yang telah mereka torehkan dalam sejarah. Tapi, apakah itu salah bulan Juli? Aku rasa tidak. Karena itu keputusan mereka, yang mereka ambil atas kesadaran dan tanpa ego. Bulan Juli hanyalah sarana untuk membuat mereka lebih baik.
Menyadari tidak ada gunanya terus menyelami seluk-beluk masa lalu, dalam keheningan yang begitu menusuk. Mereka memilih untuk menjadikan Bulan Juli sebagai tanda awal kebaikan mereka. Tidak ada salahnya kan menetapkan sebuah momentum. Setidaknya, itu menurut mereka. Mengalahkan ego dan mengedapankan rasional demi kebaikan bersama ternyata membuahkan hasil.

Mereka masih terus bertatapan, namun perlahan-lahan sebuah garis simetris mulai kembali terukir. Melupakan segala belenggu yang menyesakkan. Mencoba menerima dan membuang semua beban tentang perasaan yang dulu pernah singgah. Mencairkan kecanggungan yang sempat memenjara. Masih saling bertatapan. Seolah dari tatapan mata, mereka dapat memahami maksud masing-masing tanpa harus saling mengungkapkan. Hm. Benar tatapan mata bisa mengantarkan maksud bila perasaan saling mengerti. Bahkan kejujuran dan kebohongan bisa dilihat dari tatapan mata. Itupun saat seseorang jeli mengamati gerak-gerik tubuh. Tapi, bukankah mereka sudah saling sendiri. Lalu apakah salah bila mereka saling mengerti? Tidak, tidak ada yang salah.

“Kita tetap teman?” Tanya Si Perempuan mengulurkan tangannya.

“Ya! Kita tetap teman.” Jawab Si Lelaki menyambut uluran tangan Perempuannya itu.

Mereka saling tersenyum.
Ya seperti itulah. Bulan Juli ternyata memberi senyuman meski harus dilewati dengan kesedihan. Dan. Biarpun sudah sendiri-sendiri tidak harus saling acuh bukan? Jangan pernah mengecam seseorang sebagai musuh, apalagi bila seseorang itu pernah memberimu pelajaran berharga untuk menghargai entah apapun itu. Terkadang, segala sesuatu yang nantinya menjadi besar perlu air mata sebelum akhirnya jadi senyuman.

Komentar

Postingan Populer